KTP Executive Board: Seni Mengasah Ketulusan dan Menjadi Giver

“Takers might win in the short term, but givers win in the long run.”
— Adam Grant, penulis Give and Take

Dalam buku Fondasi Bisnis Berkah, Jaya Setiabudi menjelaskan penting dalam ber-networking bukan berpikir tentang apa yang bisa saya dapatkan. Namun, apa yang bisa saya berikan.

Masih dalam buku yang sama, founder dari Yuk Bisnis ini menjelaskan satu komoditas langka di era sekarang.

Apa itu?

KETULUSAN.

Ya, tentang bagaimana kita memberi tanpa pamrih.

Pertanyaannya, kenapa ketulusan menjadi fondasi penting di dalam sebuah hubungan?

Intention Creates Attention

Ada ungkapan bijak seperti ini, “Intention creates attention.”

Niat itu menggerakkan. Ia memiliki energi super dahsyat yang bisa mengarahkan perhatian seseorang kepada apa yang diinginkannya.

Makanya jangan heran

  • ada orang yang tidur hanya 3 – 4 jam saja karena memiliki niat besar untuk mencetak new leaders.
  • ada anak muda bangun pagi lebih awal karena mempunyai niat mulia untuk membesarkan bisnisnya yang berdampak kepada membuka lowongan pekerjaan lebih luas lagi.
  • ada seorang ayah yang mati-matian mencari nafkah demi merealisasikan niat dahsyatnya untuk memberikan rezeki halal dan menyiapkan dana pendidikan anaknya.
  • ada seorang guru yang tetap bahagia membersamai dan menemani perjalanan bertumbuh anak didiknya di tengah kelelahan fisik yang tiada tara.

Nah, dalam konteks ber-networking, saat niat seseorang adalah mendapatkan (take), perhatiannya akan tertuju kepada sesuatu apa yang bisa didapatkan sebelum memberikan (give). Dia akan menjadi hitung-hitungan. Apakah saya bisa mendapatkan lebih daripada apa yang saya beri? Ada pertarungan give dan take di sana.

Apabila dalam perjalanannya ternyata tidak mendapatkan sesuatu atau merasa tidak sebanding dengan apa yang diberikan, dia akan terjatuh ke dalam lembah kekecewaan. Sebuah lembah kelam yang meninggalkan luka sembilu di hati.

Pun karena motivasi yang men-drive-nya adalah untuk mendapatkan, maka ada hasrat di dalam hati yang ingin cepat menghasilkan sesuatu, menang sendiri, bahkan sampai memanfaatkan orang lain untuk keuntungan pribadi.

Bandingkan ketika kita menjadi seorang giver. Di dalam Komunitas Trainer Professional, kita bertekad buat memberikan value yang dimiliki kepada organisasi. Maka, energi yang tercipta adalah attention untuk berkontribusi, berinisiatif, berkarya, dan bergerak.

Karena energi yang dicurahkan untuk berkarya, otomatis kita akan bergerak dengan tulus. Fokus menghasilkan program-program yang memiliki valueTrack record ini yang akan menjadi portofolio hidup yang berjalan.

Di dalam sejarah, tokoh-tokoh besar adalah para giver. Sebut saja …

  • Usman bin Affan yang membeli sebuah sumur milik seorang Yahudi di tengah paceklik musim kemarau lalu mewakafkannya untuk umat.
  • Umar bin Khattab yang mewakafkan tanah Khaibar – sebidang tanah yang subur dan berlimpah air sehingga menjadi tanah penghasil kurma terbaik di Madinah – untuk umat.
  • Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya.

Dan hasilnya, nama mereka tercatat dalam tinta emas sejarah.

Jika itu terlalu jauh, mari tengok yang terdekat dari kita. Cukuplah Founder Komunitas Trainer Professional, Coach Ranji Landrito dan para mentor: Bunda Fuzna Marzuqoh, Coach M. Hafiz Ona P, Coach Mirza Al-Bantany, dan Coach Elvaro Islami M menjadi teladan nyata. Meskipun Speak Improvement Program dari Batch 1 – 4 diselenggarakan secara gratis, tetapi menyerahkan seluruh jiwa, raga, dan hati seutuhnya selama program.

Dan hasilnya kepuasan batin yang tak ternilai harganya. Tentu juga jalan rezeki yang tak disangka-sangka di dalam kehidupan mereka.

Oleh karena itu, sampai sini, menurut Anda, pentingkah buat kita menjadi seorang giver selama mengarungi bahtera KTP Executive Board selama dua tahun ke depan?

Jika menurut Anda penting, izinkan saya melanjutkan perjalanan.

Investasi Energi

Alguskha Nalendra dalam buku The Answer menjelaskan secara apik tentang hitung-hitungan matematis hukum energi. Sederhananya, seorang giver yang sedang memberi, sejatinya dia sedang menabung energi positif ke dalam rekening tabungan dirinya. Tabungan energi ini yang kelak akan dikonversikan dalam bentuk keberuntungan oleh Yang Maha Esa melalui sistem yang sudah didesain-Nya secara adil.

Dan sering kali Tuhan memberikan konversi di luar dugaan. Sebuah rezeki yang tak disangka-sangka. Tentu bukan melulu rezeki dalam bentuk materi. Bisa jadi networking yang ber-net worth, ilmu yang berdampak, teman seperjalanan yang positive vibes, selamat dari musibah, dapat project besar secara mendadak, keluar dari kesulitan yang bertubi-tubi, atau rezeki ajaib lainnya.

Itulah maksud dari petuah Adam Grant di awal tulisan ini, “Takers might win in the short term, but givers win in the long run.”

Jadi, mari kita maknai bahwa berkomunitas ini sebagai investasi energi. Selama masa kontribusi, kita sedang mengeluarkan uang dalam bentuk energi ke dalam rekening tabungan atas nama sendiri. Jika kita melakukan kontribusi positif, tabungan energinya akan bertambah. Semakin berkontribusi, semakin besar nilainya.

Begitu pula saat kita melakukan sesuatu yang negatif. Uang energi yang berada di rekening tabungan berkurang karena mengeluarkan energi negatif. Semakin negatif, semakin berkurang nilainya.

Mengenal Giver, Taker, dan Matcher

Hmm, sedari awal kita sudah membicarakan tentang giver dan taker. Sebenarnya ini dua makhluk apa?

Adalah Adam Grant yang memperkenalkan istilah tersebut di dalam buku Give and Take. Jadi, berdasarkan riset, Adam membagi tiga gaya interaksi dalam hubungan profesional maupun personal, yaitu:

  1. Giver,
  2. Taker, dan
  3. Matcher.

Mudahnya, giver itu si pemberi. Senang membantu tanpa mengharapkan balasan. Hidupnya rela berkorban waktu, energi, tenaga, ilmu, koneksi bahkan finansial demi menolong orang lain.

Lain hal dengan taker yang si pengambil. Egois. Mementingkan kepentingan diri sendiri. Cenderung mau melakukan berbagai cara agar ia mendapatkan keuntungan yang diinginkan dengan memanfaatkan orang lain. Dalam hal ini, tentu si giver akan menjadi korban.

Sedangkan si matcher justru bermental transaksional. Bahasa Betawinya, lu jual, gue beli. Prinsipnya saat memberi harus ada timbal balik. Ya, biar win-win solution. Dia berani memberi, tapi enggak berkorban seperti giver. Dia mau mengambil, tapi enggak sebrutal taker.

Dari tiga gaya interaksi di atas, Anda mau menjadi apa dan kenapa?

Stop Asal Menjadi Giver Saja

Saya berbaik sangka Anda memilih menjadi seorang giver. Sayangnya, saya mempunyai kabar buruk buat Anda.

Adam Grant dalam risetnyasecara unik mengungkapkan siapa orang yang paling sukses dan gagal di antara giver, taker, dan matcher. Menurut Anda, siapa? Simpan jawaban Anda.

Adam menyebutkan bahwa yang paling sukses adalah giver. Namun ironisnya di sisi lain, giver juga yang paling gagal. Lho, kok, bisa?

Ternyata banyak giver yang gagal karena mereka terjebak menjadi martir. Mereka terlalu sibuk membantu, tetapi lupa dengan kebutuhan dirinya sendiri. Ya, ibarat orang yang ikut-ikutan investasi padahal kondisi finansialnya pas-pasan bahkan malah minus sebenarnya.

Terus, bagaimana caranya kita bisa menjadi giver yang bertumbuh?

Ada tiga cara yang bisa dilakukan.

Pertama, Seimbang di Tiga Area Produktivitas

Untuk itu, penting bagi kita yang aktif di dalam Komunitas Trainer Professional untuk tidak menjadi seorang giver yang hanya sibuk memberi kepada organisasi. Namun, tidak memberi lebih kepada diri sendiri.

Istilah di dunia keuangan, jangan taruh semua telur di dalam rak. Artinya dalam konteks investasi energi. Jangan kerahkan semua energi Anda ke satu hal saja. Penting buat mendistribusikan investasi energi ini secara merata.

Setidaknya ada tiga pendistribusian dari kacamata area produktivitas, yaitu:

  • Area pribadi,
  • Area relasi,
  • Area profesi/hobi.

Penting bagi kita memenuhi tiga area ini secara adil. Tentu definisi adil di sini bukan sama rata, akan tetapi proporsional. Misalkan, Anda berprofesi sebagai seorang trainer internal di sebuah perusahaan. Tentu waktu yang Anda habiskan akan jauh lebih banyak untuk area profesi dibandingkan area relasi dan diri sendiri.

It’s no problem. Selama Anda memenuhi area diri sendiri dan relasi di luar jam kerja. Seperti Anda meluangkan waktu buat membaca buku, mengikuti training, menjalin silaturahmi, dan aktif di berbagai organisasi.

Nah, menjadi masalah adalah ketika kita menjadi giver yang hanya berfokus kepada memberi untuk relasi dan profesi. Lupa untuk meluangkan waktu untuk me time yang menumbuhkan. Bukan me time yang sebatas menghiburkan seperti scroll media sosial tanpa tujuan.

Coba cek ke dalam diri Anda,

  • apakah tiga area produktivitas di atas sudah proporsional?
  • apa rencana kurikulum pribadi Anda di tahun ini?
  • buku-buku apa saja yang mau Anda pelajari? Kenapa penting bagi Anda?
  • Kompetensi apa saja yang mau Anda dalami? Mengapa penting bagi Anda?
  • Kapan Anda mau membeli dan meluangkan waktu buat membaca buku-buku tersebut?
  • Kapan Anda mau mempelajari kompetensi tersebut? Di mana? Siapa mentor-mentor yang sudah Anda incar untuk menjadi guru? Why?

Kedua, Selektif dalam Memberi

Menjadi giver bukan berarti kita memberi semuanya kepada semua orang sepanjang waktu. Kita perlu punya filter. Kita tetap memberi, tapi selektif. Ini bukan tentang pelit, melainkan tentang kebijaksanaan memberi. Bahasa kerennya selective generosity.

Dalam dunia financial, biasanya para konsultan keuangan akan melakukan profiling terlebih dahulu sebelum Anda berinvestasi. Mereka perlu menilai apa jenis investasi yang tepat bagi Anda. Ya, walaupun Anda memiliki uang dingin yang besar, tetap saja tidak bisa asal investasi tanpa hati-hati.

Nah, Adam Grant menyebutkan dalam riset lanjutan bahwa giver yang paling sukses adalah mereka yang punya batasan dan filter dalam memberi.

Mereka:

  • Tidak sembarangan membantu setiap orang tanpa mempertimbangkan waktu dan energi.

  • Lebih memilih membantu orang-orang yang punya semangat belajar, menghargai bantuan, dan mau bergerak.

  • Memberi tanpa berharap imbalan, tapi tetap menjaga agar bantuan itu tidak menjadi jebakan eksploitasi oleh si taker.

Giver yang tidak selektif cenderung jadi people pleaser. Mereka merasa harus bilang “ya” ke semua orang, dan akhirnya habis-habisan untuk orang lain, tapi kosong buat dirinya sendiri.

Ingat: Setiap “ya” yang kita ucapkan kepada orang lain adalah “tidak” yang kita ucapkan untuk diri sendiri. Jadi, mulai sekarang, biasakan untuk:

  • Menolak dengan elegan ketika memang belum bisa membantu.

  • Menunda respon saat diminta bantuan agar bisa mempertimbangkan dulu.

  • Bertanya pada diri sendiri, “Apakah bantuan ini akan membesarkan orang itu dan juga tetap menjaga energi saya?”

Menjadi selective giver bukan berarti mengurangi nilai ketulusan, tetapi meningkatkan efektivitas kontribusi.

Ketiga, Buat Sistem Kontribusi yang Berkelanjutan

Salah satu kesalahan para giver adalah memberi tanpa sistem. Akhirnya, mereka lelah, karena mengandalkan semangat dan niat saja.

Kalau kita ingin kontribusi kita tahan lama, maka kita perlu membuatnya berbasis sistem, bukan semangat semata.

Contoh-contoh sistem kontribusi:

  • Anda membuat template mentoring untuk member baru di komunitas agar Anda tidak harus menjelaskan dari nol setiap kali.

  • Anda membentuk tim agar tugas-tugas komunitas tidak dibebankan ke satu orang saja.

  • Anda menjadwalkan waktu (time blocking) untuk berkontribusi dalam kalender mingguan agar tidak mengganggu pekerjaan utama dan keluarga.

  • Anda membuat program kontribusi bulanan yang bisa berjalan secara otomatis meskipun Anda sedang ada keperluan pribadi.

  • Anda mengabari tanpa merasa bersalah jika memang tidak bisa membantu.

Dengan sistematisasi kontribusi, Anda bisa tetap hadir memberi, tanpa harus selalu standby. Kontribusi menjadi lebih terukur, terarah, dan tidak melelahkan.

Sistem inilah yang akan memastikan bahwa semangat kita bertahan, bukan hanya di awal periode, tetapi tetap konsisten hingga akhir masa pengabdian dua tahun nanti.

Jadi, mari kita menjadi giver yang bertumbuh, bukan yang tumbang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top